Kontroversi Kloning Manusia Dalam Perspektif Syariat
KLONING terhadap manusia (Eve) merupakan sebuah keberhasilan para ilmuwan Barat dalam memanfaatkan sains yang akhirnya mampu membuat sebuah kemajuan pesat -- yang telah melampaui seluruh ramalan manusia. Betapa tidak, cara ini dianggap sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas keturunan: lebih cerdas, kuat, rupawan, ataupun untuk memperbanyak keturunan tanpa membutuhkan proses perkembangbiakan konvensional. Revolusi ini semakin memantapkan dominasi sains Barat terhadap kehidupan manusia, termasuk kaum Muslim.
Apalagi, efek berikutnya dari perkembangan revolusi ini yaitu penggunaan dan pemanfaatannya akan selalu didasarkan pada ideologi tertentu. Bagi kaum Muslim sendiri, meskipun eksperimen ilmiah dan sains itu bersifat universal, dalam aspek penggunaannya harus terlebih dulu disesuaikan dengan pandangan hidup kaum Muslim.
Menyimak pemberitaan Pikiran Rakyat (2/01) mengenai kloning setidaknya memberikan kepada kita dua persoalan.
Persoalan yang pertama adalah terkait dengan kontroversi adanya "intervensi penciptaan" yang dilakukan manusia terhadap "tugas penciptaan" yang semestinya dilakukan oleh Allah SWT. Dan persoalan yang kedua adalah bagaimana posisi syariat menghadapi kontroversi pengkloningan ini. Apakah syariat mengharamkan atau justru sebaliknya menghalalkan.
Penciptaan: "Creatio ex Nihillo"
Barangkali kita semua menyepakati bahwa alam semesta telah didesain sedemikian rupa sehingga terdapat hukum yang sangat rapi untuk mengendalikan dan menjalankan alam semesta ini.
Adanya peraturan dan hukum alam ini tentu saja mengharuskan adanya Sang Pengatur dan Pencipta. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu menurut ukuran" (Q.S. Al-Qamar: 49) dan dalam ayat lain, "...dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya" (Q.S. Al-Furqaan: 2).
Dua ayat di atas memiliki pemahaman bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan memperhitungkan ukuran dan kesesuaian, serta telah mempersiapkannya dengan kondisi-kondisi yang cocok. Oleh karena itu, penciptaan alam semesta sesungguhnya telah terlaksana dengan pertimbangan yang sangat bijaksana, bukan tanpa pertimbangan. Penciptaan alam semesta ini merupakan "penciptaan sesuatu dari ketiadaan (creatio ex nihillo) menjadi ada" bukan mengadakan sesuatu dari apa yang sudah ada.
Dengan logika ini, kloning terhadap manusia bukanlah suatu penciptaan, melainkan merupakan "pembuktian" dari keagungan dan kekuasaan Allah SWT. Atau dengan kalimat lain, kloning hanyalah penemuan (invention) kecil dari sejumlah hukum alam dan rahasia alam yang tidak ada unsur penciptaan di dalamnya. Alasannya, penemuan ini bukan "mengadakan" sesuatu dari yang tidak ada, melainkan hanya menyingkap apa yang sudah ada.
Oleh karena itu, semakin pesat dan majunya sains dengan banyak ditemukan rahasia dan hukum alam oleh para ilmuwan, sejatinya semakin bertambahlah tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta (al-Khaliq), kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan kerapian hikmah-Nya, serta semakin takjub dan tunduklah manusia. Bukan malah bersikap arogan ingin menyamai atau bahkan melampaui kekuasaan Allah SWT.
Kesan munculnya "intervensi penciptaan" yang dilakukan manusia sebenarnya dapat terbantahkan dengan sendirinya.
Sebab bagaimanapun, dalam fakta kloning manusia, ilmuwan (masih dan akan terus) membutuhkan sesuatu yang telah ada (rahim manusia) untuk pengkloningan itu.
Tanpa adanya pemanfaatan rahim, pengkloningan tidak akan berjalan. Juga dipahami bahwa dengan penemuan kloning ini kita dapat mengatakan bahwa sel tubuh manusia memiliki potensi menghasilkan keturunan jika inti sel tubuh tersebut ditanamkan pada sel telur perempuan yang telah dihilangkan inti selnya.
Pandangan syariat
Secara singkat, kloning dapat berlangsung melalui proses pengambilan sel dari tubuh manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, kemudian inti selnya diambil dan digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Sel telur ini lalu ditransfer ke dalam rahim perempuan agar memperbanyak diri, berkembang, berubah menjadi janin dan akhirnya dilahirkan sebagai bayi. Bayi yang dilahirkan merupakan keturunan dengan kode genetik yang sama dengan manusia yang menjadi sumber pengambilan sel tersebut.
Melihat fakta kloning manusia secara menyeluruh, Abdul Qadim Zallum berpendapat dalam bukunya, Hukmu As Syar'i Fi al-intinsaakh, Naqlu al-a'dhaai, al-ijhaadh, Athfaalu al-anaabiib, ajhazatu, al-Ins'aasy, ath-thabiyah, al-Hayah wa al-maut, bahwa syariat mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan argumentasi sebagai berikut.
Pertama, anak-anak produk proses kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran antara sel sperma dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan keturunannya. Allah SWT berfirman: "Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani apabila dipancarkan." (Q.S. An-Najm: 45-46) dalam ayat lain dinyatakan pula, "Bukankah dia dahulu setetes mani yag ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan." (Q.S. Al-Qiyamah: 37-38).
Kedua, anak-anak produk kloning dari perempuan -- tanpa adanya laki-laki -- tidak akan memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur -- yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh -- ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan dengan firman Allah SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan" (Q.S. Al Hujuurat: 13) juga bertentangan dengan firman-Nya yang lain, "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka." (Q.S. Al-Ahzaab: 5).
Ketiga, kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, "Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia." (H.R. Ibnu Majah) Diriwayatkan pula dari Abu 'Utsman An Nahri r.a. yang berkata, "Aku mendengar Sa'ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata, 'Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad saw., "Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram." (H.R. Ibnu Majah) Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya tatkala turun ayat li'an dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat)" (H.R. Ad-Darimi).
Kloning manusia yang bermotif memproduksi manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan -- jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur aduk nasab.
Keempat, memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah (baca: mengacaukan) pelaksanaan banyak hukum-hukum syara' seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman, hubungan 'ashabah, dan banyak lagi. Di samping itu, kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur kehidupan masyarakat.
Pengharaman ini hanya berlaku untuk kasus kloning pada manusia a.n. sich. Kloning bagi hewan dan tumbuhan, apalagi bertujuan untuk mencari obat, justru dibolehkan bahkan disunahkan. Ini dapat dilihat dari dua hadis di bawah ini, "Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!." (H.R. Imam Ahmad) Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik r.a. yang berkata, "Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah orang-orang Arab Badui. Mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Maka Nabi saw. menjawab, "Ya. Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian sebab sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya...." Maka, berdasarkan nash ini diperbolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan untuk mempertinggi produktivitasnya.***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/13/0803.htm